Contact ionlinerz
Katalog Produk
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cinta. Tampilkan semua postingan

[PUISI] Kisah Abadi

 

Malam hitam gelap suram
Buyarkan kesan indah sang alam
Di hutan suci jiwaku bersemayam
Tersesat di belantara kelam

Bersinggahku pada batu
Khayali surga tenang jiwaku
Lalu bisu mengisi waktu
Lahirkan jemu di masa semu

Dalam letih ku berpaling singgah
Pada sungai dan pohon berbuah
Coba mencari sua tersirah
Dalam lelah hati berpasrah

Seberkas cahya melintas di wajah
Terangi tanah berpijak langkah
Menuntun mata menyibak arah
Berharap kesah usailah sudah

Kau, dan sayap-sayap mungilmu
Biaskan manja hangatkan kalbu
Memapah lembut lemah ragaku
Tegarkan asa pupuslah ragu

Dan musim kian bersaksi
Besarnya arti hadirmu kini
Demi cita satu terpatri
Kau ikhlaskan hidup dan mati

Terukir janji dalam di hati
Takkan ku lepas kau di sisi
Atas nama kasih nan suci
Kujaga cinta terkisah abadi

*******

(dedicated to my beloved wife)



 

Malam hitam gelap suram
Buyarkan kesan indah sang alam
Di hutan suci jiwaku bersemayam
Tersesat di belantara kelam

Bersinggahku pada batu
Khayali surga tenang jiwaku
Lalu bisu mengisi waktu
Lahirkan jemu di masa semu

Dalam letih ku berpaling singgah
Pada sungai dan pohon berbuah
Coba mencari sua tersirah
Dalam lelah hati berpasrah

Seberkas cahya melintas di wajah
Terangi tanah berpijak langkah
Menuntun mata menyibak arah
Berharap kesah usailah sudah

Kau, dan sayap-sayap mungilmu
Biaskan manja hangatkan kalbu
Memapah lembut lemah ragaku
Tegarkan asa pupuslah ragu

Dan musim kian bersaksi
Besarnya arti hadirmu kini
Demi cita satu terpatri
Kau ikhlaskan hidup dan mati

Terukir janji dalam di hati
Takkan ku lepas kau di sisi
Atas nama kasih nan suci
Kujaga cinta terkisah abadi

*******

(dedicated to my beloved wife)



Detail

Cintamu, Cintaku, Uang Kita

Cerpen : cintamu, cintaku, uang kita
Cerpen cinta
Tujuh tahun  sudah aku menjalani kehidupanku sebagai seorang suami, dan juga seorang ayah dari kedua buah hatiku nan sempurna. Pasang surut perekonomian rumah tangga kujalani ibarat musim yang kian silih berganti. Tergantung bagaimana kita menyiapkan diri sebelum datang musim yang ditakutkan. Aku berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Tamat dari sekolah aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, dan kuputuskan untuk langsung mencari pekerjaan. Sebagai lulusan SMA, lowongan yang tersedia untuk fresh graduated tak jauh dari Sales Promotion Boy (SPB), kurir, marketing atau buruh pabrik. Penghasilanku saat itu hanya cukup untuk biaya keperluan sehari-hari dan membantu ayahku membiayai sekolah ketiga adik-adikku.

Keadaan tak berangsur baik ketika aku bertemu dengan seorang gadis cantik yang menjadi istriku kini. Dalam kondisi ekonomi yang belum tertata baik, aku berpacaran dengan anak dari keluarga kaya. Cantik, orangtuanya kaya, sudah pasti menjadi idaman banyak pria. Entah apa yang merasuki tubuhnya hingga ia memilih aku untuk menjadi pacarnya. Kesan pertama dengan orangtuanya pun cukup mengenaskan. Tak sepatah katapun pernah kudengar keluar dari mulut mereka, tak juga walau hanya sekedar membalas salamku. Mungkin mereka takut terinfeksi virus miskin jika berbicara dengan orang seperti aku dulu. Namun tak demikian yang terjadi dengan pacarku. Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah megahnya, riuh terdengar nada-nada tinggi berbenturan dengan suara pacarku yang turut melengking. Ya, itu suara pacarku sedang bertengkar dengan orangtuanya. Tak terdengar jelas apa yang mereka pertengkarkan, aku hanya menanti SMS darinya saja. Karena setiap habis bertengkar dengan orangtuanya, semua yang dibahas pasti langsung ia ceritakan dalam SMS, bisa terbayang berapa pulsa yang terbuang untuk mengirim satu jam setengah kisah pertengkaran orangtua-anak dalam bentuk SMS, karena saat itu media chatting seperti BBM (BlackBerry Messenger), WhatsApp, Line, dan sebagainya belum ada. Dulu, orangtuanya begitu keras menolak hubunganku dengannya, kenapa? Karena pada saat itu UMP (Ukuran Menantu Pilihan) begitu tinggi. Masih terngiang-ngiang kata-kata yang disampaikan orangtua istriku kepadanya dulu, “Mama maunya kamu punya pacar yang  punya mobil!”. Kata-kata itulah yang terus membuatku tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya. Intinya, hubunganku dengan istriku saat itu terbentengi oleh materi.

Bagi istriku, kenyataan bahwa orangtuanya memang tergolong materialistis sedikit banyak menggoyang hati dan akalnya untuk terus mencari dan mencari, apa sebenarnya yang ia butuhkan? Cinta atau uang? Jika pilih ‘Cinta’ resikonya adalah hidup apa adanya yang penting setiap hari selalu penuh dengan bunga-bunga cinta, sedangkan menurut orangtuanya, “Memang kamu bisa beli makanan pakai cinta?” Jika pilih ‘Uang’, yang adalah pilihan terbaik menurut orangtuanya, semua keperluan dan keinginannya akan terpenuhi, walau mungkin rumah tangga akan sedikit hambar karena tak ada cinta yang bermekaran. Hal ini sepertinya menjadi trend dilema gadis remaja yang mulai serius mencari pendamping hidup.

Empat tahun kami berpacaran, selama itu pula aku terus meyakinkan dia bahwa aku adalah pilihan terbaiknya. Adalah empat tahun terumit tapi juga yang terindah yang pernah aku jalani selama hidupku. Istilah gaulnya, ‘Dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak’. Walau tak seperti kisah dongeng yang sehari-hari selalu bermesra-mesraan, perjalanan hubungan kami cukup berwarna. Hampir setiap hari kami bertengkar, dari masalah kecil, cemburu buta, sampai kembali ke masalah orangtuanya. Lucunya, dalam satu bulan itu rutin terdiri dari tiga fase, pertama yaitu awal bulan, adalah fase dimana aku baru gajian. Dalam kurun waktu sekitar satu minggu hingga sepuluh hari itu terisi hampir penuh dengan senda gurau, manja-manjaan, mesra-mesraan, inilah fase terindah dalam bulan tersebut. Fase kedua adalah tengah bulan. Pada fase ini, kami masih terlihat romantis di depan orang-orang, tapi ketika berduaan yang ada hanya pembahasan-pembahasan mengerikan yang jika tidak segera dihentikan bisa berujung keram pada otak atau stroke karena selalu memancing pertengkaran dan emosi. Point pembahasannya tak jauh dari hal cemburu buta, perbedaan prinsip pertemanan, ini siapa, itu siapa, dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah fase bulan tua, atau dalam istilahku : “Fase akhir zaman”. Bagaimana aku tidak menamakannya demikian, karena pada fase terakhir ini, tak peduli di depan orang banyak ataupun lagi berdua saja, dia tak segan membentak-bentak hingga membanting-banting apa yang ada di dekatnya. Fase terakhir ini adalah evolusi fase kedua tahap lanjut. Jika teori Darwin mengatakan bahwa kera kemudian berevolusi menjadi manusia, itu adalah evolusi yang maju atau semakin sempurna.  Sedangkan pada kasusku ini, fase ketiga dalam setiap bulannya adalah juga evolusi yang maju, karena memang masalah-masalah yang muncul di fase kedua kian sempurna meledaknya pada fase ini. Dan hebatnya, ketiga fase ini rutin berlangsung selama empat tahun penuh masa-masa pacaranku dengannya.

Jika kutinjau dari rutinitas intern bulanan selama empat tahun aku pacaran ini, tak terelak bahwa masa-masa itu adalah saat dimana ia benar-benar memastikan diri bahwa aku takkan mengecewakan dia di masa depan nanti. Walau kadang terbesit pemikiran-pemikiran negatifku bahwa mungkin ia semakin dekat dengan kenyataan bahwa untuk saat ini yang ia butuhkan adalah ‘Uang’, seperti apa yang orangtuanya inginkan. Karena walau agak malu aku menceritakan, tapi dengan memiliki pacar yang hanya seorang berpenghasilan minim sepertiku, bahkan motorpun aku tak punya. Kemana-mana jalan kaki atau naik angkot, restoran termahal yang pernah kami datangi hanya tenda pecel lele pinggir jalan. Bagaimana aku bisa membahagiakan dia? Bagaimana aku membuktikan ke orangtuanya bahwa aku pantas menjadi suaminya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi retorika yang hanya berakhir dengan cenat-cenut di kepala.

Sejak awal aku berpacaran dengan dia, aku terus mencoba untuk lakukan yang terbaik yang aku bisa. Hampir segala macam pekerjaan sudah aku jalani, dan setimpal dengan gigihnya niatku mendapatkan restu dari calon mertua, atau mungkin juga karena calon mertuaku yang sudah angkat tangan karena anaknya tidak juga mau menuruti keinginannya untuk mencari suami yang ‘bermobil’,  akhirnya Yang Kuasa memberikanku hadiah yang begitu kudambakan : restu dari calon mertua.

Tak lama sejak ‘lampu hijau’ menyala, kamipun menyegerakan pernikahan kami. Dan setahun kemudian lahirlah buah pernikahan kami yang pertama. Tahun-tahun pertama pernikahan adalah masa-masa paling berat yang pernah aku rasakan. Keterbatasan penghasilan membuatku menjerumuskan anak dan istriku ke tepi jurang keprihatinan. Kerap kali aku harus menggali lubang tutup lubang hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Rumah kontrakan semi permanen menjadi tempat tinggal kami. Jatah susu anakku pun hanya mampu kupenuhi setengahnya. Jadi jika pada umumnya anak minum susu tiga botol penuh dalam satu hari, anakku juga sama seperti mereka, tiga kali minum susu, bedanya tiap kali minum susu hanya terisi setengah botolnya. Disinilah cinta dipertanyakan. Besarnya cinta seorang suami terhadap istri dan seorang ayah terhadap anaknya terukur dari seberapa sanggup aku menafkahi mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku tak lagi tersenyum ketika mengingat sindiran-sindiran halus dari mertuaku dulu tentang materi. Cinta tanpa uang adalah keprihatinan. Uang tanpa cinta adalah keterpaksaan. Banyak pasangan yang pada akhirnya memilih untuk tetap bertahan hidup prihatin karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap pasangannya. Dan tak sedikit pula pasangan yang bersikeras memaksakan untuk mempertahankan hubungan demi hidup bergelimpangan harta walau tak ada cinta dalam rumah tangga mereka.

Bukan lelaki jika aku memilih untuk lari dan menyerah pada keadaan. Hidup adalah pilihan, dan aku takkan membiarkan istriku salah karena telah memilihku sebagai pendamping hidupnya hingga mati. Aku tahu bahwa dia telah memilih ‘keprihatinan’ ketika dia memutuskan untuk menerimaku sebagai suaminya. Namun hal ini tidak membuatku pasrah begitu saja. Jika aku harus membiarkan dia salah memilih antara ‘Cinta’ dan ‘Uang’, maka akan kubuktikan bahwa pilihannya adalah kesalahan terindah yang pernah ia buat. Menyaksikan betapa tegarnya ia menjalani keprihatinan hidup denganku, akan kubuktikan bahwa ‘Cinta’ pilihannya akan melakukan segala cara untuk membahagiakannya.

Sebagai langkah awal, seiring dengan minatku pada komputer, aku mulai mengeksplorasi dunia blog. Dari blog sederhana yang hanya berisikan informasi-informasi kecil, sampai akhirnya terbesit untuk membantu temanku menjual barang-barangnya di blogku. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, kian banyak produk-produk ‘titipan’ yang ku pasarkan di blogku. Laba yang kudapat dari penjualan barang-barang tersebut perlahan memutar balik keadaan ekonomi keluarga kecilku. Bahkan dengan kehadiran anak keduaku pun keuangan kami tak lagi kekurangan. Ditambah dengan usaha kecil-kecilan buatan tangan istriku yang juga kujual di blog, bisa dibilang kami sudah meninggalkan jurang ‘keprihatinan’ dan perlahan mulai mencoba untuk mengejar impian-impian kami berdua.

Mencoba membuat terobosan dengan berhenti menjadi Sales Promotion Boy, aku kian menekuni ‘bisnis online’ ku, penghasilanku memang jauh lebih besar dibanding ketika aku masih bekerja di perusahaan orang, namun hasil yang kudapatkan adalah harian, bukan bulanan seperti gaji yang biasa aku terima dulu sebagai karyawan, itu sebabnya aku harus sangat berhati-hati dalam pengeluaran agar tidak kembali terjerumus di lubang keprihatinan lagi. Dan untuk mengejar target pribadiku mengabulkan impian istriku yaitu memiliki rumah dan mobil pribadi, akupun harus cermat mengatur keuangan. Untuk membeli rumah dan mobil aku belum sanggup untuk membayar secara tunai, untungnya banyak portal layanan informasi dan perbandingan yang netral dan terpercaya untuk membantuku membuat keputusan finansial yang cerdas seperti CekAja.com. Di CekAja.com, aku bisa mendapatkan produk kredit dan pinjaman berbunga murah, kartu kredit dengan diskon dan promo terbaik, serta produk syariah dan asuransi yang sesuai kebutuhan. Dari sinilah aku kemudian mengajukan kredit untuk pencapaian impian kami berdua, rumah dan mobil.

Tak terkira bahagianya istriku ketika menginjak rumah barunya, dan duduk di mobil barunya. Begitu jelas terlihat di matanya bulir-bulir penuh sukacita. Suami yang tadinya tak punya ‘Uang’ dan hanya bermodal ‘Cinta’, kini telah memenuhi sebagian impiannya. Sedikit pembuktian bahwa apa yang selama ini kuperjuangkan tak berbuah sia-sia, tertepis sudah praduga sang mertua tentang apa yang mereka arahkan kepada istriku dulu. ‘Cinta’ yang dipilih oleh istriku kini mampu menghadirkan lebih banyak kebahagiaan. Kini kami hidup serba kecukupan. Besarnya cinta yang kutanam di dalam hatiku untuk istri dan anak-anakku menghasilkan kekuatan untuk mendatangkan tak hanya banyak ‘Uang’ seperti yang selalu menjadi incaran calon mertua, tapi juga tangga untuk meraih impian-impian mereka, dan kebahagiaan.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com


Cerpen : cintamu, cintaku, uang kita
Cerpen cinta
Tujuh tahun  sudah aku menjalani kehidupanku sebagai seorang suami, dan juga seorang ayah dari kedua buah hatiku nan sempurna. Pasang surut perekonomian rumah tangga kujalani ibarat musim yang kian silih berganti. Tergantung bagaimana kita menyiapkan diri sebelum datang musim yang ditakutkan. Aku berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Tamat dari sekolah aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, dan kuputuskan untuk langsung mencari pekerjaan. Sebagai lulusan SMA, lowongan yang tersedia untuk fresh graduated tak jauh dari Sales Promotion Boy (SPB), kurir, marketing atau buruh pabrik. Penghasilanku saat itu hanya cukup untuk biaya keperluan sehari-hari dan membantu ayahku membiayai sekolah ketiga adik-adikku.

Keadaan tak berangsur baik ketika aku bertemu dengan seorang gadis cantik yang menjadi istriku kini. Dalam kondisi ekonomi yang belum tertata baik, aku berpacaran dengan anak dari keluarga kaya. Cantik, orangtuanya kaya, sudah pasti menjadi idaman banyak pria. Entah apa yang merasuki tubuhnya hingga ia memilih aku untuk menjadi pacarnya. Kesan pertama dengan orangtuanya pun cukup mengenaskan. Tak sepatah katapun pernah kudengar keluar dari mulut mereka, tak juga walau hanya sekedar membalas salamku. Mungkin mereka takut terinfeksi virus miskin jika berbicara dengan orang seperti aku dulu. Namun tak demikian yang terjadi dengan pacarku. Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah megahnya, riuh terdengar nada-nada tinggi berbenturan dengan suara pacarku yang turut melengking. Ya, itu suara pacarku sedang bertengkar dengan orangtuanya. Tak terdengar jelas apa yang mereka pertengkarkan, aku hanya menanti SMS darinya saja. Karena setiap habis bertengkar dengan orangtuanya, semua yang dibahas pasti langsung ia ceritakan dalam SMS, bisa terbayang berapa pulsa yang terbuang untuk mengirim satu jam setengah kisah pertengkaran orangtua-anak dalam bentuk SMS, karena saat itu media chatting seperti BBM (BlackBerry Messenger), WhatsApp, Line, dan sebagainya belum ada. Dulu, orangtuanya begitu keras menolak hubunganku dengannya, kenapa? Karena pada saat itu UMP (Ukuran Menantu Pilihan) begitu tinggi. Masih terngiang-ngiang kata-kata yang disampaikan orangtua istriku kepadanya dulu, “Mama maunya kamu punya pacar yang  punya mobil!”. Kata-kata itulah yang terus membuatku tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya. Intinya, hubunganku dengan istriku saat itu terbentengi oleh materi.

Bagi istriku, kenyataan bahwa orangtuanya memang tergolong materialistis sedikit banyak menggoyang hati dan akalnya untuk terus mencari dan mencari, apa sebenarnya yang ia butuhkan? Cinta atau uang? Jika pilih ‘Cinta’ resikonya adalah hidup apa adanya yang penting setiap hari selalu penuh dengan bunga-bunga cinta, sedangkan menurut orangtuanya, “Memang kamu bisa beli makanan pakai cinta?” Jika pilih ‘Uang’, yang adalah pilihan terbaik menurut orangtuanya, semua keperluan dan keinginannya akan terpenuhi, walau mungkin rumah tangga akan sedikit hambar karena tak ada cinta yang bermekaran. Hal ini sepertinya menjadi trend dilema gadis remaja yang mulai serius mencari pendamping hidup.

Empat tahun kami berpacaran, selama itu pula aku terus meyakinkan dia bahwa aku adalah pilihan terbaiknya. Adalah empat tahun terumit tapi juga yang terindah yang pernah aku jalani selama hidupku. Istilah gaulnya, ‘Dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak’. Walau tak seperti kisah dongeng yang sehari-hari selalu bermesra-mesraan, perjalanan hubungan kami cukup berwarna. Hampir setiap hari kami bertengkar, dari masalah kecil, cemburu buta, sampai kembali ke masalah orangtuanya. Lucunya, dalam satu bulan itu rutin terdiri dari tiga fase, pertama yaitu awal bulan, adalah fase dimana aku baru gajian. Dalam kurun waktu sekitar satu minggu hingga sepuluh hari itu terisi hampir penuh dengan senda gurau, manja-manjaan, mesra-mesraan, inilah fase terindah dalam bulan tersebut. Fase kedua adalah tengah bulan. Pada fase ini, kami masih terlihat romantis di depan orang-orang, tapi ketika berduaan yang ada hanya pembahasan-pembahasan mengerikan yang jika tidak segera dihentikan bisa berujung keram pada otak atau stroke karena selalu memancing pertengkaran dan emosi. Point pembahasannya tak jauh dari hal cemburu buta, perbedaan prinsip pertemanan, ini siapa, itu siapa, dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah fase bulan tua, atau dalam istilahku : “Fase akhir zaman”. Bagaimana aku tidak menamakannya demikian, karena pada fase terakhir ini, tak peduli di depan orang banyak ataupun lagi berdua saja, dia tak segan membentak-bentak hingga membanting-banting apa yang ada di dekatnya. Fase terakhir ini adalah evolusi fase kedua tahap lanjut. Jika teori Darwin mengatakan bahwa kera kemudian berevolusi menjadi manusia, itu adalah evolusi yang maju atau semakin sempurna.  Sedangkan pada kasusku ini, fase ketiga dalam setiap bulannya adalah juga evolusi yang maju, karena memang masalah-masalah yang muncul di fase kedua kian sempurna meledaknya pada fase ini. Dan hebatnya, ketiga fase ini rutin berlangsung selama empat tahun penuh masa-masa pacaranku dengannya.

Jika kutinjau dari rutinitas intern bulanan selama empat tahun aku pacaran ini, tak terelak bahwa masa-masa itu adalah saat dimana ia benar-benar memastikan diri bahwa aku takkan mengecewakan dia di masa depan nanti. Walau kadang terbesit pemikiran-pemikiran negatifku bahwa mungkin ia semakin dekat dengan kenyataan bahwa untuk saat ini yang ia butuhkan adalah ‘Uang’, seperti apa yang orangtuanya inginkan. Karena walau agak malu aku menceritakan, tapi dengan memiliki pacar yang hanya seorang berpenghasilan minim sepertiku, bahkan motorpun aku tak punya. Kemana-mana jalan kaki atau naik angkot, restoran termahal yang pernah kami datangi hanya tenda pecel lele pinggir jalan. Bagaimana aku bisa membahagiakan dia? Bagaimana aku membuktikan ke orangtuanya bahwa aku pantas menjadi suaminya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi retorika yang hanya berakhir dengan cenat-cenut di kepala.

Sejak awal aku berpacaran dengan dia, aku terus mencoba untuk lakukan yang terbaik yang aku bisa. Hampir segala macam pekerjaan sudah aku jalani, dan setimpal dengan gigihnya niatku mendapatkan restu dari calon mertua, atau mungkin juga karena calon mertuaku yang sudah angkat tangan karena anaknya tidak juga mau menuruti keinginannya untuk mencari suami yang ‘bermobil’,  akhirnya Yang Kuasa memberikanku hadiah yang begitu kudambakan : restu dari calon mertua.

Tak lama sejak ‘lampu hijau’ menyala, kamipun menyegerakan pernikahan kami. Dan setahun kemudian lahirlah buah pernikahan kami yang pertama. Tahun-tahun pertama pernikahan adalah masa-masa paling berat yang pernah aku rasakan. Keterbatasan penghasilan membuatku menjerumuskan anak dan istriku ke tepi jurang keprihatinan. Kerap kali aku harus menggali lubang tutup lubang hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Rumah kontrakan semi permanen menjadi tempat tinggal kami. Jatah susu anakku pun hanya mampu kupenuhi setengahnya. Jadi jika pada umumnya anak minum susu tiga botol penuh dalam satu hari, anakku juga sama seperti mereka, tiga kali minum susu, bedanya tiap kali minum susu hanya terisi setengah botolnya. Disinilah cinta dipertanyakan. Besarnya cinta seorang suami terhadap istri dan seorang ayah terhadap anaknya terukur dari seberapa sanggup aku menafkahi mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku tak lagi tersenyum ketika mengingat sindiran-sindiran halus dari mertuaku dulu tentang materi. Cinta tanpa uang adalah keprihatinan. Uang tanpa cinta adalah keterpaksaan. Banyak pasangan yang pada akhirnya memilih untuk tetap bertahan hidup prihatin karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap pasangannya. Dan tak sedikit pula pasangan yang bersikeras memaksakan untuk mempertahankan hubungan demi hidup bergelimpangan harta walau tak ada cinta dalam rumah tangga mereka.

Bukan lelaki jika aku memilih untuk lari dan menyerah pada keadaan. Hidup adalah pilihan, dan aku takkan membiarkan istriku salah karena telah memilihku sebagai pendamping hidupnya hingga mati. Aku tahu bahwa dia telah memilih ‘keprihatinan’ ketika dia memutuskan untuk menerimaku sebagai suaminya. Namun hal ini tidak membuatku pasrah begitu saja. Jika aku harus membiarkan dia salah memilih antara ‘Cinta’ dan ‘Uang’, maka akan kubuktikan bahwa pilihannya adalah kesalahan terindah yang pernah ia buat. Menyaksikan betapa tegarnya ia menjalani keprihatinan hidup denganku, akan kubuktikan bahwa ‘Cinta’ pilihannya akan melakukan segala cara untuk membahagiakannya.

Sebagai langkah awal, seiring dengan minatku pada komputer, aku mulai mengeksplorasi dunia blog. Dari blog sederhana yang hanya berisikan informasi-informasi kecil, sampai akhirnya terbesit untuk membantu temanku menjual barang-barangnya di blogku. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, kian banyak produk-produk ‘titipan’ yang ku pasarkan di blogku. Laba yang kudapat dari penjualan barang-barang tersebut perlahan memutar balik keadaan ekonomi keluarga kecilku. Bahkan dengan kehadiran anak keduaku pun keuangan kami tak lagi kekurangan. Ditambah dengan usaha kecil-kecilan buatan tangan istriku yang juga kujual di blog, bisa dibilang kami sudah meninggalkan jurang ‘keprihatinan’ dan perlahan mulai mencoba untuk mengejar impian-impian kami berdua.

Mencoba membuat terobosan dengan berhenti menjadi Sales Promotion Boy, aku kian menekuni ‘bisnis online’ ku, penghasilanku memang jauh lebih besar dibanding ketika aku masih bekerja di perusahaan orang, namun hasil yang kudapatkan adalah harian, bukan bulanan seperti gaji yang biasa aku terima dulu sebagai karyawan, itu sebabnya aku harus sangat berhati-hati dalam pengeluaran agar tidak kembali terjerumus di lubang keprihatinan lagi. Dan untuk mengejar target pribadiku mengabulkan impian istriku yaitu memiliki rumah dan mobil pribadi, akupun harus cermat mengatur keuangan. Untuk membeli rumah dan mobil aku belum sanggup untuk membayar secara tunai, untungnya banyak portal layanan informasi dan perbandingan yang netral dan terpercaya untuk membantuku membuat keputusan finansial yang cerdas seperti CekAja.com. Di CekAja.com, aku bisa mendapatkan produk kredit dan pinjaman berbunga murah, kartu kredit dengan diskon dan promo terbaik, serta produk syariah dan asuransi yang sesuai kebutuhan. Dari sinilah aku kemudian mengajukan kredit untuk pencapaian impian kami berdua, rumah dan mobil.

Tak terkira bahagianya istriku ketika menginjak rumah barunya, dan duduk di mobil barunya. Begitu jelas terlihat di matanya bulir-bulir penuh sukacita. Suami yang tadinya tak punya ‘Uang’ dan hanya bermodal ‘Cinta’, kini telah memenuhi sebagian impiannya. Sedikit pembuktian bahwa apa yang selama ini kuperjuangkan tak berbuah sia-sia, tertepis sudah praduga sang mertua tentang apa yang mereka arahkan kepada istriku dulu. ‘Cinta’ yang dipilih oleh istriku kini mampu menghadirkan lebih banyak kebahagiaan. Kini kami hidup serba kecukupan. Besarnya cinta yang kutanam di dalam hatiku untuk istri dan anak-anakku menghasilkan kekuatan untuk mendatangkan tak hanya banyak ‘Uang’ seperti yang selalu menjadi incaran calon mertua, tapi juga tangga untuk meraih impian-impian mereka, dan kebahagiaan.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com


Detail
 
ionlinerz corp © 2010-2021 | All Rights Reserved