Contact ionlinerz
Katalog Produk
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Jangan jauh-jauh dariku ya Bu..

Cerpen ibu
Cerpen ibu














Jangan jauh-jauh dariku ya Bu..

Sebagai laki-laki dan anak pertama, namun sejak kecil bisa dibilang aku memang sangat manja. Kerasnya didikan ayahku membuatku selalu menjadikan ibuku sebagai tameng. Setiap kali ayahku mulai marah, aku langsung mendekati ibuku, berharap ibu segera meredam amarahnya. Hal tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan, bahkan hingga aku duduk di bangku SMA.

Sejak SMA, sepulang sekolah aku sering ikut sepupuku mengamen dari bis ke bis di sekitar Jakarta Pusat. Kondisi ekonomi mengetuk hatiku untuk sedikit meringankan beban ayahku yang hanya pengemudi Taxi. Hasil mengamen yang tak seberapa selalu kusisihkan untuk mengangsur iuran sekolahku. Sebagian ku berikan ibuku untuk menambah uang belanja dirumah, uang saku ala kadarnya untuk ketiga adik-adikku, dan tak lupa beberapa sekotak martabak keju kesukaan ibuku. Pada awalnya, semua uang yang kudapat dari mengamen selalu kuhabiskan untuk jajan dan keperluanku sendiri, hingga akhirnya sepupuku menasehati untuk jangan lupa berbagi dengan adik-adik, dan terutama orang tua. Ayahku tak pernah mau menerima uangku, beliau tak pernah tega melihatku turut mencari nafkah kendatipun penghasilannya memang pas-pasan.

Menjelang EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) atau sekarang disebut UAN (Ujian Akhir Nasional), ibuku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena sakit kanker payudara yang konon kata ayahku dulu sudah pernah dioperasi ternyata belum bersih tuntas dan kini semakin besar dan semakin menyiksa ibuku. Di rumah sakit, dokter memberikan pilihan untuk operasi dengan biaya puluhan juta atau rawat jalan namun prosesnya akan memakan waktu cukup lama, belum lagi persentase untuk sembuh dengan metode ini hanya sekitar 10%. Tanpa berpikir panjang, ibuku langsung bilang kepada ayah untuk pulang saja, “Ibu sudah nggak apa-apa kok Pak, sakitnya sudah hilang..”. Baik ayah maupun aku, spontan langsung berpikir bahwa ibu pasti bilang begitu karena tidak mau membebani ayahku untuk mencari ratusan juta demi operasi mengangkat kanker di payudaranya, namun dengan setengah ragu ayahku mengangguk dan segera membawa ibu pulang.

Sesampainya dirumah, entah apakah ibu sudah tidak merasakan lagi penyakitnya ataukah ibu menahan-nahan rasa sakitnya, tapi memang sejak itu ibuku kembali beraktifitas seperti biasa lagi layaknya orang sehat. Walau kadang pertanyaan itu masih sering terbesit, namun paling tidak sedikit mengurangi kekhawatiranku dan akupun bisa kembali fokus belajar untuk menghadapi EBTANAS.

Beberapa bulan berlalu, dan memang sudah tak pernah lagi terlihat tanda-tanda penyakit ibuku. Akupun telah menyelesaikan SMA ku dengan nilai cukup memuaskan. Dan tibalah saatnya aku melanjutkan jenjang pendidikanku ke perguruan tinggi, dengan harapan jika aku menjadi sarjana nanti, aku ingin mencari pekerjaan yang layak, dengan gaji yang tinggi, agar ayahku tak perlu lagi jadi supir taxi, ibuku bisa makan martabak kesukaannya setiap hari, dan adik-adikku juga bisa kusekolahkan hingga jadi sarjana juga agar hidup mereka mapan dan nyaman. Namun angan-angan itu terpaksa kusimpan dalam-dalam, karena setelah aku mendatangi universitas yang kuimpikan, ternyata biaya masuknya sangat mahal. Sempat aku bicarakan masalah ini dengan ibuku, namun takkan berani aku menyampaikannya ke ayahku. Selain takut beliau justru jadi marah dan balik menasehatiku lalu menyuruhku mengaca, aku juga tak mau impianku ini membebani pikirannya. Lebih baik kini ayahku konsentrasi ke biaya sekolah adik-adikku yang masih panjang perjalanannya dibanding harus memaksakan agar aku bisa kuliah.

Curhat kecil dengan ibuku masalah keinginanku untuk kuliah ternyata sampai juga di telinga ayahku. Harusnya aku sudah menduganya, karena apapun yang ibuku dengar, lihat dan rasakan, sudah pasti ayahku tahu. Dipanggillah aku oleh ayahku, “Kamu mau kuliah?” Itulah pertanyaan kecil yang keluar dari mulutnya dan membuatku bingung setengah mati untuk menjawabnya. Ibarat buah simalakama, jika kujawab iya, seperti yang kubayangkan, pasti aku akan dinasehati panjang dan disuruh mengaca, tapi jika kujawab tidak, pasti aku dibilang pembohong karena ibuku tidak mungkin menceritakan kebohongan kepada ayahku. Dengan sedikit keberanian dan pasrah dengan apa yang akan kuterima, akhirnya kujawab, “Iya Yah..” Dan sungguh diluar ekpektasiku, ayah justru lanjut bertanya mengenai, kuliah jurusan apa, universitas apa, dan lain sebagainya. Pembicaraan terputus ketika tiba di topik ketika kusampaikan biaya masuk ke universitas yang kuinginkan. “10 juta??”, tanya ayahku dengan nada yang mulai membuatku menggeser posisi dudukku agak menjauh darinya. “Iya Yah, 10 juta..”, jawabku pelan sekali. Bukannya marah dan mengeluarkan jurus-jurus andalan yang biasa dilontarkan kepadaku, ayahku hanya menyuruhku untuk kembali ke kamar, tanpa ada kata-kata sisipan dibelakangnya.

Pasrah tapi bingung, berkecamuk keduanya dalam otakku. Apakah ayahku mendukungku? Ataukah hanya sekedar retorika? Andaipun ayah mengiyakan untuk aku kuliah, bagaimana mungkin ayahku bisa mendapatkan uang sebesar itu, sementara batas akhir pendaftaran tinggal dua minggu lagi. Ditambah lagi adik-adikku pun juga ada yang sedang ujian dan harus mengeluarkan biaya juga. “Akkhh...Ngga mungkin...!!”, teriakku dalam hati memastikan bahwa AKU TIDAK MUNGKIN BISA KULIAH.

Deadline pendaftaran tersisa seminggu lagi, aku sudah tak pernah mau pusing memikirkan tentang kuliah lagi, keseharianku hanya kuhabiskan dengan membuat lamaran-lamaran pekerjaan dan mengirimkannya hampir ke setiap lowongan pekerjaan yang kubaca dari koran, dari internet, ataupun dari informasi teman-temanku. Sepulang ayahku kerja, ayahku yang biasanya langsung masuk ke kamarnya tiba-tiba berhenti dan duduk tepat di depanku. Lalu sebuah amplop dengan kop sebuah perusahaan yang tak begitu jelas terbaca karena terlalu kecil di sodorkan ayahku ke hadapanku. “Apaan nih Yah?”, tanyaku. “Katanya mau kuliah?”, jawab ayahku dan aku berani bersumpah bahwa baru kali ini aku melihat sedikit senyuman seumur hidup aku bertatap empat mata dengan ayahku. Dengan hati menggebu-gebu dan rasa penasaran dicampur sedikit bingung, kubukan amplopnya dan ternyata benar dugaanku, dua kali kuhitung isi didalam amplop itu benar-benar persis Rp.10.000.000,-. “Ini untuk kuliahku Yah??!”, tanyaku antusias. Anggukan kecil ayahku membuat mataku sedikit berkaca-kaca, tapi takkan kubiarkan air mataku jatuh atau akan membuat ayahku justru memarahiku karena beliau selalu bilang, “Anak laki-laki nggak boleh cengeng!”. Dengan sumringah aku berterima kasih kepada ayahku lalu menghampiri ibuku dan memeluknya erat, ibuku membalas pelukanku dan menyuruhku untuk shalat syukur. Tak lama ayahku memintaku agar segera mengurus terlebih dahulu proses pendaftarannya dan memberitahu letak uangnya disimpan di dalam lemari jika memang sudah harus membayar.
Pagi sekali aku terbangun keesokannya, bergegas aku mendatangi universitas yang kutuju dan mencari tahu prosedur pendaftarannya. Pulang dari sana otakku dipenuhi khayalan-khayalan sedang berjalan di lorong kampus, diajari seorang dosen, dan yang paling memalukan adalah aku sangat ingin ditanya oleh teman-temanku, “Aktifitas lo apa sekarang?” Lalu dengan bangga akan kujawab, “Gue kuliah..” Konyol memang, tapi begitulah yang ada di pikiranku saat itu.

Fotokopi ijazah, fotokopi KTP, dan persyaratan-persyaratan pendukung lainnya telah kulengkapi pada malam harinya. Tinggal besok aku kembali kesana dan mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa. Begitu sibuknya aku menyiapkan segala sesuatu untuk pendaftaran besok, aku sampai tak memperhatikan bahwa ada suara rintihan. Ternyata ibuku sedang meringis kesakitan menekan daerah payudaranya. Spontan aku langsung menghubungi handphone ayahku dan memintanya untuk segera pulang karena aku belum paham apa yang harus dilakukan. Begitu ayahku datang, tanpa banyak berkata-kata ayahku langsung menggendong ibuku kedalam taxinya, aku diminta ikut dengannya dan menginstrusikan kepada adik-adikku untuk tetap di dalam rumah. Berangkatlah kami ke rumah sakit. Di ruang UGD (Unit Gawat Darurat), ayahku menjelaskan bahwa hal ini sudah diprediksikan akan terjadi, dimana penyakit ibuku yang tadinya sempat kukira sudah sembuh akan kambuh dan semakin parah. Tak lama ayahku dipanggil oleh dokter yang menangani ibuku. Keluar dari ruangan dokter, ayahku terlihat pucat namun tetap bergerak dengan cepat menghubungi beberapa orang –entah siapa- dengan handphonenya. Selesai menelpon, ayahku duduk di sebelahku. Ternyata barusan saja beliau diberitahu oleh dokter bahwa ibu harus segera menjalani perawatan insentif, dan biaya yang dibutuhkan adalah dua puluh juta rupiah. Ayahku segera menghubungi kakak-kakaknya untuk meminta bantuan dana. Dana yang terkumpul dari kakak-kakaknya hanya sekitar tujuh juta rupiah. Beliaupun hendak menghubungi perusahaan taxi tempatnya bekerja untuk mengabari kondisi ini dan memohon bantuan dana sesegera mungkin. Malam itu kami lalui dengan sangat cemas, bergantian tidur sementara yang satu mengawasi kondisi ibuku yang kian kritis.

Keesokan paginya beberapa rekan sekerja dari perusahaan taxi ayahku datang dan memberikan sebuah amplop yang kuyakin adalah dana bantuan dari perusahaan atau dari teman-teman seprofesinya, total uang yang terkumpul berikut dana yang ditransfer pakde-budeku (kakak dari ayahku) baru sepuluh juta rupiah, masih kurang sepuluh juta lagi untuk biaya pengobatan ibuku. Wajah ayah tampak jelas sangat kalut, seakan benar-benar putus asa. Dalam keheningan saat itu, spontan terlintas uang pendaftaran untuk kuliahku. “Yah, pakai aja uang pendaftaran kuliahku..”, kataku mencoba menenangkan. Bukan ayahku jika ia langsung menerima begitu saja tawaranku, dengan penuh usaha beliau coba memastikan apakah aku akan baik-baik saja jika uang untuk mengabulkan impianku kuliah itu harus dikorbankan demi nyawa ibuku. “Iya yah, aku nggak apa-apa, yang penting Ibu selamat dulu”, lirih ku coba jelaskan perasaanku. Tertutup sudah semua dana yang dibutuhkan.

Hampir seminggu ibuku di rumah sakit, aku, ayah dan adik-adikku bergantian menemaninya. Hingga tiba-tiba ketika aku sedang di rumah, suara taxi ayahku terdengar mendekat lalu berhenti, betapa riangnya hatiku melihat ayah dan adikku membopong ibu keluar dari taxi ayahku. “Alhamdulillah, ibu sudah sembuh ya?”, tanyaku setengah berteriak. Tak ada yang menjawab, mereka sibuk memapah ibuku ke dalam rumah, akupun dengan sigap membantu menggantikan posisi adikku yang memegang ibuku disebelah kirinya. Sesampainya di kamar, ibu langsung menanyakan tentang kuliahku, proses pendaftarannya, dan sebagainya. Aku tak mau membuatnya memikirkan banyak hal, dengan ringan aku hanya menjawab bahwa semua lancar.

Tiga hari berlalu sejak kepulangan ibu kembali ke rumah. Tak kusadari sebelumnya bahwa mendengar ibuku tertawa dengan sekejap meluluhkan penat dalam otakku yang masih belum jelas akan kemana perjalanan hidupku selanjutnya. Hingga pada sore itu, mendadak ibu tak lagi bergerak dan bersuara, hanya tertidur dengan mata kosong terbuka dan nafas yang tersengal-sengal. Ayahku seperti sudah tidak kaget lagi, beliau justru memintaku mengumpulkan adik-adik dan menghubungi beberapa saudara-saudara ibuku untuk segera berkumpul dirumah. Agak cemas perasaanku ketika aku dan adik-adikku diminta ayahku untuk membacakan surat Yasin disamping ibuku. Ada apa? Kenapa ayah begitu tenang? Bukankah ibu sudah sembuh?

Sabtu, 8 September 2001, tepat pukul 21:39WIB, setelah beberapa jam kami terus membacakan Yasin, akhirnya ibuku menarik nafas terakhirnya dan pergi untuk selamanya. Tak dapat kutahan air mata dan tak mungkin juga aku menangis di depan adik-adikku yang sudah sejak sore tadi menangis, akupun beranjak ke dapur, duduk bersimpuh dan menangis deras tanpa suara. “Kenapa ya Allah? Kenapa ibu masih diambil juga?”, tangisku dalam hati mempertanyakan keadilan bagiku. Sungguh hari itu adalah hari tersuram dalam hidupku. Sepertinya semua kebahagiaan turut lenyap bersama dengan kepergiannya. Baru kutahu ternyata kepulangannya dari rumah sakit bukan karena sudah sembuh, melainkan karena dokter sudah angkat tangan dan meminta ayahku untuk membawanya pulang saja. Ayahku lebih terpukul, kurang lebih delapan bulan sejak ibuku meninggal, ayah tak lagi bekerja, sepertinya beliau lebih kehilangan kehidupannya. Untunglah aku saat itu sudah diterima bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Kawasan Industri di bilangan Jakarta Timur. Dengan gaji yang kuterima, aku biayai semua keperluan hidup ayah dan adik-adikku, juga sekolah mereka. Aku tak lagi memikirkan kepentinganku sendiri. Gaji kusisihkan hanya untuk ongkos kerjaku, sisanya kuserahkan semua ke ayahku untuk keperluan sehari-hari. Kuyakin sangat berat ayahku merasakan kepedihan karena kepergian ibuku, hingga sudah tak lagi tersisa dorongan untuk melakukan hal-hal lain, salah memang terpuruk terlalu lama, apalagi mengingat masih ada adik-adikku yang perlu dibiayai, tapi itulah yang terjadi, dan aku tak sekalipun berani mengungkit masalah ini, kasih sayangku dan besarnya cintaku terhadap ibuku seakan terus menguatkanku untuk selalu ikhlas menjalani segalanya, bahkan terkadang aku masih merasa ibuku selalu ada di sampingku untuk membisikkan kata-kata untuk menenangkanku.

Empat belas tahun berlalu sejak kepergian ibuku, kini aku telah menikah dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Ayahku terkena stroke sejak tiga tahun silam, sebelah tubuhnya lumpuh. Sekalipun sudah berkeluarga, aku selalu masih merasa ibuku berbicara dengan hatiku, “Nak, titip ayah ya..”. Dan hal itu yang membuatku semakin ikhlas merawat ayahku hingga kini. Apapun akan kulakukan demi membahagiakan ibu, hanya satu yang kumohon, “Jangan jauh-jauh dariku ya Bu..”

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co


Cerpen ibu
Cerpen ibu














Jangan jauh-jauh dariku ya Bu..

Sebagai laki-laki dan anak pertama, namun sejak kecil bisa dibilang aku memang sangat manja. Kerasnya didikan ayahku membuatku selalu menjadikan ibuku sebagai tameng. Setiap kali ayahku mulai marah, aku langsung mendekati ibuku, berharap ibu segera meredam amarahnya. Hal tersebut nampaknya telah menjadi kebiasaan, bahkan hingga aku duduk di bangku SMA.

Sejak SMA, sepulang sekolah aku sering ikut sepupuku mengamen dari bis ke bis di sekitar Jakarta Pusat. Kondisi ekonomi mengetuk hatiku untuk sedikit meringankan beban ayahku yang hanya pengemudi Taxi. Hasil mengamen yang tak seberapa selalu kusisihkan untuk mengangsur iuran sekolahku. Sebagian ku berikan ibuku untuk menambah uang belanja dirumah, uang saku ala kadarnya untuk ketiga adik-adikku, dan tak lupa beberapa sekotak martabak keju kesukaan ibuku. Pada awalnya, semua uang yang kudapat dari mengamen selalu kuhabiskan untuk jajan dan keperluanku sendiri, hingga akhirnya sepupuku menasehati untuk jangan lupa berbagi dengan adik-adik, dan terutama orang tua. Ayahku tak pernah mau menerima uangku, beliau tak pernah tega melihatku turut mencari nafkah kendatipun penghasilannya memang pas-pasan.

Menjelang EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) atau sekarang disebut UAN (Ujian Akhir Nasional), ibuku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena sakit kanker payudara yang konon kata ayahku dulu sudah pernah dioperasi ternyata belum bersih tuntas dan kini semakin besar dan semakin menyiksa ibuku. Di rumah sakit, dokter memberikan pilihan untuk operasi dengan biaya puluhan juta atau rawat jalan namun prosesnya akan memakan waktu cukup lama, belum lagi persentase untuk sembuh dengan metode ini hanya sekitar 10%. Tanpa berpikir panjang, ibuku langsung bilang kepada ayah untuk pulang saja, “Ibu sudah nggak apa-apa kok Pak, sakitnya sudah hilang..”. Baik ayah maupun aku, spontan langsung berpikir bahwa ibu pasti bilang begitu karena tidak mau membebani ayahku untuk mencari ratusan juta demi operasi mengangkat kanker di payudaranya, namun dengan setengah ragu ayahku mengangguk dan segera membawa ibu pulang.

Sesampainya dirumah, entah apakah ibu sudah tidak merasakan lagi penyakitnya ataukah ibu menahan-nahan rasa sakitnya, tapi memang sejak itu ibuku kembali beraktifitas seperti biasa lagi layaknya orang sehat. Walau kadang pertanyaan itu masih sering terbesit, namun paling tidak sedikit mengurangi kekhawatiranku dan akupun bisa kembali fokus belajar untuk menghadapi EBTANAS.

Beberapa bulan berlalu, dan memang sudah tak pernah lagi terlihat tanda-tanda penyakit ibuku. Akupun telah menyelesaikan SMA ku dengan nilai cukup memuaskan. Dan tibalah saatnya aku melanjutkan jenjang pendidikanku ke perguruan tinggi, dengan harapan jika aku menjadi sarjana nanti, aku ingin mencari pekerjaan yang layak, dengan gaji yang tinggi, agar ayahku tak perlu lagi jadi supir taxi, ibuku bisa makan martabak kesukaannya setiap hari, dan adik-adikku juga bisa kusekolahkan hingga jadi sarjana juga agar hidup mereka mapan dan nyaman. Namun angan-angan itu terpaksa kusimpan dalam-dalam, karena setelah aku mendatangi universitas yang kuimpikan, ternyata biaya masuknya sangat mahal. Sempat aku bicarakan masalah ini dengan ibuku, namun takkan berani aku menyampaikannya ke ayahku. Selain takut beliau justru jadi marah dan balik menasehatiku lalu menyuruhku mengaca, aku juga tak mau impianku ini membebani pikirannya. Lebih baik kini ayahku konsentrasi ke biaya sekolah adik-adikku yang masih panjang perjalanannya dibanding harus memaksakan agar aku bisa kuliah.

Curhat kecil dengan ibuku masalah keinginanku untuk kuliah ternyata sampai juga di telinga ayahku. Harusnya aku sudah menduganya, karena apapun yang ibuku dengar, lihat dan rasakan, sudah pasti ayahku tahu. Dipanggillah aku oleh ayahku, “Kamu mau kuliah?” Itulah pertanyaan kecil yang keluar dari mulutnya dan membuatku bingung setengah mati untuk menjawabnya. Ibarat buah simalakama, jika kujawab iya, seperti yang kubayangkan, pasti aku akan dinasehati panjang dan disuruh mengaca, tapi jika kujawab tidak, pasti aku dibilang pembohong karena ibuku tidak mungkin menceritakan kebohongan kepada ayahku. Dengan sedikit keberanian dan pasrah dengan apa yang akan kuterima, akhirnya kujawab, “Iya Yah..” Dan sungguh diluar ekpektasiku, ayah justru lanjut bertanya mengenai, kuliah jurusan apa, universitas apa, dan lain sebagainya. Pembicaraan terputus ketika tiba di topik ketika kusampaikan biaya masuk ke universitas yang kuinginkan. “10 juta??”, tanya ayahku dengan nada yang mulai membuatku menggeser posisi dudukku agak menjauh darinya. “Iya Yah, 10 juta..”, jawabku pelan sekali. Bukannya marah dan mengeluarkan jurus-jurus andalan yang biasa dilontarkan kepadaku, ayahku hanya menyuruhku untuk kembali ke kamar, tanpa ada kata-kata sisipan dibelakangnya.

Pasrah tapi bingung, berkecamuk keduanya dalam otakku. Apakah ayahku mendukungku? Ataukah hanya sekedar retorika? Andaipun ayah mengiyakan untuk aku kuliah, bagaimana mungkin ayahku bisa mendapatkan uang sebesar itu, sementara batas akhir pendaftaran tinggal dua minggu lagi. Ditambah lagi adik-adikku pun juga ada yang sedang ujian dan harus mengeluarkan biaya juga. “Akkhh...Ngga mungkin...!!”, teriakku dalam hati memastikan bahwa AKU TIDAK MUNGKIN BISA KULIAH.

Deadline pendaftaran tersisa seminggu lagi, aku sudah tak pernah mau pusing memikirkan tentang kuliah lagi, keseharianku hanya kuhabiskan dengan membuat lamaran-lamaran pekerjaan dan mengirimkannya hampir ke setiap lowongan pekerjaan yang kubaca dari koran, dari internet, ataupun dari informasi teman-temanku. Sepulang ayahku kerja, ayahku yang biasanya langsung masuk ke kamarnya tiba-tiba berhenti dan duduk tepat di depanku. Lalu sebuah amplop dengan kop sebuah perusahaan yang tak begitu jelas terbaca karena terlalu kecil di sodorkan ayahku ke hadapanku. “Apaan nih Yah?”, tanyaku. “Katanya mau kuliah?”, jawab ayahku dan aku berani bersumpah bahwa baru kali ini aku melihat sedikit senyuman seumur hidup aku bertatap empat mata dengan ayahku. Dengan hati menggebu-gebu dan rasa penasaran dicampur sedikit bingung, kubukan amplopnya dan ternyata benar dugaanku, dua kali kuhitung isi didalam amplop itu benar-benar persis Rp.10.000.000,-. “Ini untuk kuliahku Yah??!”, tanyaku antusias. Anggukan kecil ayahku membuat mataku sedikit berkaca-kaca, tapi takkan kubiarkan air mataku jatuh atau akan membuat ayahku justru memarahiku karena beliau selalu bilang, “Anak laki-laki nggak boleh cengeng!”. Dengan sumringah aku berterima kasih kepada ayahku lalu menghampiri ibuku dan memeluknya erat, ibuku membalas pelukanku dan menyuruhku untuk shalat syukur. Tak lama ayahku memintaku agar segera mengurus terlebih dahulu proses pendaftarannya dan memberitahu letak uangnya disimpan di dalam lemari jika memang sudah harus membayar.
Pagi sekali aku terbangun keesokannya, bergegas aku mendatangi universitas yang kutuju dan mencari tahu prosedur pendaftarannya. Pulang dari sana otakku dipenuhi khayalan-khayalan sedang berjalan di lorong kampus, diajari seorang dosen, dan yang paling memalukan adalah aku sangat ingin ditanya oleh teman-temanku, “Aktifitas lo apa sekarang?” Lalu dengan bangga akan kujawab, “Gue kuliah..” Konyol memang, tapi begitulah yang ada di pikiranku saat itu.

Fotokopi ijazah, fotokopi KTP, dan persyaratan-persyaratan pendukung lainnya telah kulengkapi pada malam harinya. Tinggal besok aku kembali kesana dan mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa. Begitu sibuknya aku menyiapkan segala sesuatu untuk pendaftaran besok, aku sampai tak memperhatikan bahwa ada suara rintihan. Ternyata ibuku sedang meringis kesakitan menekan daerah payudaranya. Spontan aku langsung menghubungi handphone ayahku dan memintanya untuk segera pulang karena aku belum paham apa yang harus dilakukan. Begitu ayahku datang, tanpa banyak berkata-kata ayahku langsung menggendong ibuku kedalam taxinya, aku diminta ikut dengannya dan menginstrusikan kepada adik-adikku untuk tetap di dalam rumah. Berangkatlah kami ke rumah sakit. Di ruang UGD (Unit Gawat Darurat), ayahku menjelaskan bahwa hal ini sudah diprediksikan akan terjadi, dimana penyakit ibuku yang tadinya sempat kukira sudah sembuh akan kambuh dan semakin parah. Tak lama ayahku dipanggil oleh dokter yang menangani ibuku. Keluar dari ruangan dokter, ayahku terlihat pucat namun tetap bergerak dengan cepat menghubungi beberapa orang –entah siapa- dengan handphonenya. Selesai menelpon, ayahku duduk di sebelahku. Ternyata barusan saja beliau diberitahu oleh dokter bahwa ibu harus segera menjalani perawatan insentif, dan biaya yang dibutuhkan adalah dua puluh juta rupiah. Ayahku segera menghubungi kakak-kakaknya untuk meminta bantuan dana. Dana yang terkumpul dari kakak-kakaknya hanya sekitar tujuh juta rupiah. Beliaupun hendak menghubungi perusahaan taxi tempatnya bekerja untuk mengabari kondisi ini dan memohon bantuan dana sesegera mungkin. Malam itu kami lalui dengan sangat cemas, bergantian tidur sementara yang satu mengawasi kondisi ibuku yang kian kritis.

Keesokan paginya beberapa rekan sekerja dari perusahaan taxi ayahku datang dan memberikan sebuah amplop yang kuyakin adalah dana bantuan dari perusahaan atau dari teman-teman seprofesinya, total uang yang terkumpul berikut dana yang ditransfer pakde-budeku (kakak dari ayahku) baru sepuluh juta rupiah, masih kurang sepuluh juta lagi untuk biaya pengobatan ibuku. Wajah ayah tampak jelas sangat kalut, seakan benar-benar putus asa. Dalam keheningan saat itu, spontan terlintas uang pendaftaran untuk kuliahku. “Yah, pakai aja uang pendaftaran kuliahku..”, kataku mencoba menenangkan. Bukan ayahku jika ia langsung menerima begitu saja tawaranku, dengan penuh usaha beliau coba memastikan apakah aku akan baik-baik saja jika uang untuk mengabulkan impianku kuliah itu harus dikorbankan demi nyawa ibuku. “Iya yah, aku nggak apa-apa, yang penting Ibu selamat dulu”, lirih ku coba jelaskan perasaanku. Tertutup sudah semua dana yang dibutuhkan.

Hampir seminggu ibuku di rumah sakit, aku, ayah dan adik-adikku bergantian menemaninya. Hingga tiba-tiba ketika aku sedang di rumah, suara taxi ayahku terdengar mendekat lalu berhenti, betapa riangnya hatiku melihat ayah dan adikku membopong ibu keluar dari taxi ayahku. “Alhamdulillah, ibu sudah sembuh ya?”, tanyaku setengah berteriak. Tak ada yang menjawab, mereka sibuk memapah ibuku ke dalam rumah, akupun dengan sigap membantu menggantikan posisi adikku yang memegang ibuku disebelah kirinya. Sesampainya di kamar, ibu langsung menanyakan tentang kuliahku, proses pendaftarannya, dan sebagainya. Aku tak mau membuatnya memikirkan banyak hal, dengan ringan aku hanya menjawab bahwa semua lancar.

Tiga hari berlalu sejak kepulangan ibu kembali ke rumah. Tak kusadari sebelumnya bahwa mendengar ibuku tertawa dengan sekejap meluluhkan penat dalam otakku yang masih belum jelas akan kemana perjalanan hidupku selanjutnya. Hingga pada sore itu, mendadak ibu tak lagi bergerak dan bersuara, hanya tertidur dengan mata kosong terbuka dan nafas yang tersengal-sengal. Ayahku seperti sudah tidak kaget lagi, beliau justru memintaku mengumpulkan adik-adik dan menghubungi beberapa saudara-saudara ibuku untuk segera berkumpul dirumah. Agak cemas perasaanku ketika aku dan adik-adikku diminta ayahku untuk membacakan surat Yasin disamping ibuku. Ada apa? Kenapa ayah begitu tenang? Bukankah ibu sudah sembuh?

Sabtu, 8 September 2001, tepat pukul 21:39WIB, setelah beberapa jam kami terus membacakan Yasin, akhirnya ibuku menarik nafas terakhirnya dan pergi untuk selamanya. Tak dapat kutahan air mata dan tak mungkin juga aku menangis di depan adik-adikku yang sudah sejak sore tadi menangis, akupun beranjak ke dapur, duduk bersimpuh dan menangis deras tanpa suara. “Kenapa ya Allah? Kenapa ibu masih diambil juga?”, tangisku dalam hati mempertanyakan keadilan bagiku. Sungguh hari itu adalah hari tersuram dalam hidupku. Sepertinya semua kebahagiaan turut lenyap bersama dengan kepergiannya. Baru kutahu ternyata kepulangannya dari rumah sakit bukan karena sudah sembuh, melainkan karena dokter sudah angkat tangan dan meminta ayahku untuk membawanya pulang saja. Ayahku lebih terpukul, kurang lebih delapan bulan sejak ibuku meninggal, ayah tak lagi bekerja, sepertinya beliau lebih kehilangan kehidupannya. Untunglah aku saat itu sudah diterima bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Kawasan Industri di bilangan Jakarta Timur. Dengan gaji yang kuterima, aku biayai semua keperluan hidup ayah dan adik-adikku, juga sekolah mereka. Aku tak lagi memikirkan kepentinganku sendiri. Gaji kusisihkan hanya untuk ongkos kerjaku, sisanya kuserahkan semua ke ayahku untuk keperluan sehari-hari. Kuyakin sangat berat ayahku merasakan kepedihan karena kepergian ibuku, hingga sudah tak lagi tersisa dorongan untuk melakukan hal-hal lain, salah memang terpuruk terlalu lama, apalagi mengingat masih ada adik-adikku yang perlu dibiayai, tapi itulah yang terjadi, dan aku tak sekalipun berani mengungkit masalah ini, kasih sayangku dan besarnya cintaku terhadap ibuku seakan terus menguatkanku untuk selalu ikhlas menjalani segalanya, bahkan terkadang aku masih merasa ibuku selalu ada di sampingku untuk membisikkan kata-kata untuk menenangkanku.

Empat belas tahun berlalu sejak kepergian ibuku, kini aku telah menikah dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri. Ayahku terkena stroke sejak tiga tahun silam, sebelah tubuhnya lumpuh. Sekalipun sudah berkeluarga, aku selalu masih merasa ibuku berbicara dengan hatiku, “Nak, titip ayah ya..”. Dan hal itu yang membuatku semakin ikhlas merawat ayahku hingga kini. Apapun akan kulakukan demi membahagiakan ibu, hanya satu yang kumohon, “Jangan jauh-jauh dariku ya Bu..”

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Project #DearMama yang diselenggarakan Nulisbuku.com dan Storial.co


Detail

Cintamu, Cintaku, Uang Kita

Cerpen : cintamu, cintaku, uang kita
Cerpen cinta
Tujuh tahun  sudah aku menjalani kehidupanku sebagai seorang suami, dan juga seorang ayah dari kedua buah hatiku nan sempurna. Pasang surut perekonomian rumah tangga kujalani ibarat musim yang kian silih berganti. Tergantung bagaimana kita menyiapkan diri sebelum datang musim yang ditakutkan. Aku berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Tamat dari sekolah aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, dan kuputuskan untuk langsung mencari pekerjaan. Sebagai lulusan SMA, lowongan yang tersedia untuk fresh graduated tak jauh dari Sales Promotion Boy (SPB), kurir, marketing atau buruh pabrik. Penghasilanku saat itu hanya cukup untuk biaya keperluan sehari-hari dan membantu ayahku membiayai sekolah ketiga adik-adikku.

Keadaan tak berangsur baik ketika aku bertemu dengan seorang gadis cantik yang menjadi istriku kini. Dalam kondisi ekonomi yang belum tertata baik, aku berpacaran dengan anak dari keluarga kaya. Cantik, orangtuanya kaya, sudah pasti menjadi idaman banyak pria. Entah apa yang merasuki tubuhnya hingga ia memilih aku untuk menjadi pacarnya. Kesan pertama dengan orangtuanya pun cukup mengenaskan. Tak sepatah katapun pernah kudengar keluar dari mulut mereka, tak juga walau hanya sekedar membalas salamku. Mungkin mereka takut terinfeksi virus miskin jika berbicara dengan orang seperti aku dulu. Namun tak demikian yang terjadi dengan pacarku. Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah megahnya, riuh terdengar nada-nada tinggi berbenturan dengan suara pacarku yang turut melengking. Ya, itu suara pacarku sedang bertengkar dengan orangtuanya. Tak terdengar jelas apa yang mereka pertengkarkan, aku hanya menanti SMS darinya saja. Karena setiap habis bertengkar dengan orangtuanya, semua yang dibahas pasti langsung ia ceritakan dalam SMS, bisa terbayang berapa pulsa yang terbuang untuk mengirim satu jam setengah kisah pertengkaran orangtua-anak dalam bentuk SMS, karena saat itu media chatting seperti BBM (BlackBerry Messenger), WhatsApp, Line, dan sebagainya belum ada. Dulu, orangtuanya begitu keras menolak hubunganku dengannya, kenapa? Karena pada saat itu UMP (Ukuran Menantu Pilihan) begitu tinggi. Masih terngiang-ngiang kata-kata yang disampaikan orangtua istriku kepadanya dulu, “Mama maunya kamu punya pacar yang  punya mobil!”. Kata-kata itulah yang terus membuatku tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya. Intinya, hubunganku dengan istriku saat itu terbentengi oleh materi.

Bagi istriku, kenyataan bahwa orangtuanya memang tergolong materialistis sedikit banyak menggoyang hati dan akalnya untuk terus mencari dan mencari, apa sebenarnya yang ia butuhkan? Cinta atau uang? Jika pilih ‘Cinta’ resikonya adalah hidup apa adanya yang penting setiap hari selalu penuh dengan bunga-bunga cinta, sedangkan menurut orangtuanya, “Memang kamu bisa beli makanan pakai cinta?” Jika pilih ‘Uang’, yang adalah pilihan terbaik menurut orangtuanya, semua keperluan dan keinginannya akan terpenuhi, walau mungkin rumah tangga akan sedikit hambar karena tak ada cinta yang bermekaran. Hal ini sepertinya menjadi trend dilema gadis remaja yang mulai serius mencari pendamping hidup.

Empat tahun kami berpacaran, selama itu pula aku terus meyakinkan dia bahwa aku adalah pilihan terbaiknya. Adalah empat tahun terumit tapi juga yang terindah yang pernah aku jalani selama hidupku. Istilah gaulnya, ‘Dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak’. Walau tak seperti kisah dongeng yang sehari-hari selalu bermesra-mesraan, perjalanan hubungan kami cukup berwarna. Hampir setiap hari kami bertengkar, dari masalah kecil, cemburu buta, sampai kembali ke masalah orangtuanya. Lucunya, dalam satu bulan itu rutin terdiri dari tiga fase, pertama yaitu awal bulan, adalah fase dimana aku baru gajian. Dalam kurun waktu sekitar satu minggu hingga sepuluh hari itu terisi hampir penuh dengan senda gurau, manja-manjaan, mesra-mesraan, inilah fase terindah dalam bulan tersebut. Fase kedua adalah tengah bulan. Pada fase ini, kami masih terlihat romantis di depan orang-orang, tapi ketika berduaan yang ada hanya pembahasan-pembahasan mengerikan yang jika tidak segera dihentikan bisa berujung keram pada otak atau stroke karena selalu memancing pertengkaran dan emosi. Point pembahasannya tak jauh dari hal cemburu buta, perbedaan prinsip pertemanan, ini siapa, itu siapa, dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah fase bulan tua, atau dalam istilahku : “Fase akhir zaman”. Bagaimana aku tidak menamakannya demikian, karena pada fase terakhir ini, tak peduli di depan orang banyak ataupun lagi berdua saja, dia tak segan membentak-bentak hingga membanting-banting apa yang ada di dekatnya. Fase terakhir ini adalah evolusi fase kedua tahap lanjut. Jika teori Darwin mengatakan bahwa kera kemudian berevolusi menjadi manusia, itu adalah evolusi yang maju atau semakin sempurna.  Sedangkan pada kasusku ini, fase ketiga dalam setiap bulannya adalah juga evolusi yang maju, karena memang masalah-masalah yang muncul di fase kedua kian sempurna meledaknya pada fase ini. Dan hebatnya, ketiga fase ini rutin berlangsung selama empat tahun penuh masa-masa pacaranku dengannya.

Jika kutinjau dari rutinitas intern bulanan selama empat tahun aku pacaran ini, tak terelak bahwa masa-masa itu adalah saat dimana ia benar-benar memastikan diri bahwa aku takkan mengecewakan dia di masa depan nanti. Walau kadang terbesit pemikiran-pemikiran negatifku bahwa mungkin ia semakin dekat dengan kenyataan bahwa untuk saat ini yang ia butuhkan adalah ‘Uang’, seperti apa yang orangtuanya inginkan. Karena walau agak malu aku menceritakan, tapi dengan memiliki pacar yang hanya seorang berpenghasilan minim sepertiku, bahkan motorpun aku tak punya. Kemana-mana jalan kaki atau naik angkot, restoran termahal yang pernah kami datangi hanya tenda pecel lele pinggir jalan. Bagaimana aku bisa membahagiakan dia? Bagaimana aku membuktikan ke orangtuanya bahwa aku pantas menjadi suaminya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi retorika yang hanya berakhir dengan cenat-cenut di kepala.

Sejak awal aku berpacaran dengan dia, aku terus mencoba untuk lakukan yang terbaik yang aku bisa. Hampir segala macam pekerjaan sudah aku jalani, dan setimpal dengan gigihnya niatku mendapatkan restu dari calon mertua, atau mungkin juga karena calon mertuaku yang sudah angkat tangan karena anaknya tidak juga mau menuruti keinginannya untuk mencari suami yang ‘bermobil’,  akhirnya Yang Kuasa memberikanku hadiah yang begitu kudambakan : restu dari calon mertua.

Tak lama sejak ‘lampu hijau’ menyala, kamipun menyegerakan pernikahan kami. Dan setahun kemudian lahirlah buah pernikahan kami yang pertama. Tahun-tahun pertama pernikahan adalah masa-masa paling berat yang pernah aku rasakan. Keterbatasan penghasilan membuatku menjerumuskan anak dan istriku ke tepi jurang keprihatinan. Kerap kali aku harus menggali lubang tutup lubang hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Rumah kontrakan semi permanen menjadi tempat tinggal kami. Jatah susu anakku pun hanya mampu kupenuhi setengahnya. Jadi jika pada umumnya anak minum susu tiga botol penuh dalam satu hari, anakku juga sama seperti mereka, tiga kali minum susu, bedanya tiap kali minum susu hanya terisi setengah botolnya. Disinilah cinta dipertanyakan. Besarnya cinta seorang suami terhadap istri dan seorang ayah terhadap anaknya terukur dari seberapa sanggup aku menafkahi mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku tak lagi tersenyum ketika mengingat sindiran-sindiran halus dari mertuaku dulu tentang materi. Cinta tanpa uang adalah keprihatinan. Uang tanpa cinta adalah keterpaksaan. Banyak pasangan yang pada akhirnya memilih untuk tetap bertahan hidup prihatin karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap pasangannya. Dan tak sedikit pula pasangan yang bersikeras memaksakan untuk mempertahankan hubungan demi hidup bergelimpangan harta walau tak ada cinta dalam rumah tangga mereka.

Bukan lelaki jika aku memilih untuk lari dan menyerah pada keadaan. Hidup adalah pilihan, dan aku takkan membiarkan istriku salah karena telah memilihku sebagai pendamping hidupnya hingga mati. Aku tahu bahwa dia telah memilih ‘keprihatinan’ ketika dia memutuskan untuk menerimaku sebagai suaminya. Namun hal ini tidak membuatku pasrah begitu saja. Jika aku harus membiarkan dia salah memilih antara ‘Cinta’ dan ‘Uang’, maka akan kubuktikan bahwa pilihannya adalah kesalahan terindah yang pernah ia buat. Menyaksikan betapa tegarnya ia menjalani keprihatinan hidup denganku, akan kubuktikan bahwa ‘Cinta’ pilihannya akan melakukan segala cara untuk membahagiakannya.

Sebagai langkah awal, seiring dengan minatku pada komputer, aku mulai mengeksplorasi dunia blog. Dari blog sederhana yang hanya berisikan informasi-informasi kecil, sampai akhirnya terbesit untuk membantu temanku menjual barang-barangnya di blogku. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, kian banyak produk-produk ‘titipan’ yang ku pasarkan di blogku. Laba yang kudapat dari penjualan barang-barang tersebut perlahan memutar balik keadaan ekonomi keluarga kecilku. Bahkan dengan kehadiran anak keduaku pun keuangan kami tak lagi kekurangan. Ditambah dengan usaha kecil-kecilan buatan tangan istriku yang juga kujual di blog, bisa dibilang kami sudah meninggalkan jurang ‘keprihatinan’ dan perlahan mulai mencoba untuk mengejar impian-impian kami berdua.

Mencoba membuat terobosan dengan berhenti menjadi Sales Promotion Boy, aku kian menekuni ‘bisnis online’ ku, penghasilanku memang jauh lebih besar dibanding ketika aku masih bekerja di perusahaan orang, namun hasil yang kudapatkan adalah harian, bukan bulanan seperti gaji yang biasa aku terima dulu sebagai karyawan, itu sebabnya aku harus sangat berhati-hati dalam pengeluaran agar tidak kembali terjerumus di lubang keprihatinan lagi. Dan untuk mengejar target pribadiku mengabulkan impian istriku yaitu memiliki rumah dan mobil pribadi, akupun harus cermat mengatur keuangan. Untuk membeli rumah dan mobil aku belum sanggup untuk membayar secara tunai, untungnya banyak portal layanan informasi dan perbandingan yang netral dan terpercaya untuk membantuku membuat keputusan finansial yang cerdas seperti CekAja.com. Di CekAja.com, aku bisa mendapatkan produk kredit dan pinjaman berbunga murah, kartu kredit dengan diskon dan promo terbaik, serta produk syariah dan asuransi yang sesuai kebutuhan. Dari sinilah aku kemudian mengajukan kredit untuk pencapaian impian kami berdua, rumah dan mobil.

Tak terkira bahagianya istriku ketika menginjak rumah barunya, dan duduk di mobil barunya. Begitu jelas terlihat di matanya bulir-bulir penuh sukacita. Suami yang tadinya tak punya ‘Uang’ dan hanya bermodal ‘Cinta’, kini telah memenuhi sebagian impiannya. Sedikit pembuktian bahwa apa yang selama ini kuperjuangkan tak berbuah sia-sia, tertepis sudah praduga sang mertua tentang apa yang mereka arahkan kepada istriku dulu. ‘Cinta’ yang dipilih oleh istriku kini mampu menghadirkan lebih banyak kebahagiaan. Kini kami hidup serba kecukupan. Besarnya cinta yang kutanam di dalam hatiku untuk istri dan anak-anakku menghasilkan kekuatan untuk mendatangkan tak hanya banyak ‘Uang’ seperti yang selalu menjadi incaran calon mertua, tapi juga tangga untuk meraih impian-impian mereka, dan kebahagiaan.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com


Cerpen : cintamu, cintaku, uang kita
Cerpen cinta
Tujuh tahun  sudah aku menjalani kehidupanku sebagai seorang suami, dan juga seorang ayah dari kedua buah hatiku nan sempurna. Pasang surut perekonomian rumah tangga kujalani ibarat musim yang kian silih berganti. Tergantung bagaimana kita menyiapkan diri sebelum datang musim yang ditakutkan. Aku berasal dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Tamat dari sekolah aku tak melanjutkan ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, dan kuputuskan untuk langsung mencari pekerjaan. Sebagai lulusan SMA, lowongan yang tersedia untuk fresh graduated tak jauh dari Sales Promotion Boy (SPB), kurir, marketing atau buruh pabrik. Penghasilanku saat itu hanya cukup untuk biaya keperluan sehari-hari dan membantu ayahku membiayai sekolah ketiga adik-adikku.

Keadaan tak berangsur baik ketika aku bertemu dengan seorang gadis cantik yang menjadi istriku kini. Dalam kondisi ekonomi yang belum tertata baik, aku berpacaran dengan anak dari keluarga kaya. Cantik, orangtuanya kaya, sudah pasti menjadi idaman banyak pria. Entah apa yang merasuki tubuhnya hingga ia memilih aku untuk menjadi pacarnya. Kesan pertama dengan orangtuanya pun cukup mengenaskan. Tak sepatah katapun pernah kudengar keluar dari mulut mereka, tak juga walau hanya sekedar membalas salamku. Mungkin mereka takut terinfeksi virus miskin jika berbicara dengan orang seperti aku dulu. Namun tak demikian yang terjadi dengan pacarku. Belum ada lima langkah aku meninggalkan rumah megahnya, riuh terdengar nada-nada tinggi berbenturan dengan suara pacarku yang turut melengking. Ya, itu suara pacarku sedang bertengkar dengan orangtuanya. Tak terdengar jelas apa yang mereka pertengkarkan, aku hanya menanti SMS darinya saja. Karena setiap habis bertengkar dengan orangtuanya, semua yang dibahas pasti langsung ia ceritakan dalam SMS, bisa terbayang berapa pulsa yang terbuang untuk mengirim satu jam setengah kisah pertengkaran orangtua-anak dalam bentuk SMS, karena saat itu media chatting seperti BBM (BlackBerry Messenger), WhatsApp, Line, dan sebagainya belum ada. Dulu, orangtuanya begitu keras menolak hubunganku dengannya, kenapa? Karena pada saat itu UMP (Ukuran Menantu Pilihan) begitu tinggi. Masih terngiang-ngiang kata-kata yang disampaikan orangtua istriku kepadanya dulu, “Mama maunya kamu punya pacar yang  punya mobil!”. Kata-kata itulah yang terus membuatku tersenyum-senyum sendiri jika mengingatnya. Intinya, hubunganku dengan istriku saat itu terbentengi oleh materi.

Bagi istriku, kenyataan bahwa orangtuanya memang tergolong materialistis sedikit banyak menggoyang hati dan akalnya untuk terus mencari dan mencari, apa sebenarnya yang ia butuhkan? Cinta atau uang? Jika pilih ‘Cinta’ resikonya adalah hidup apa adanya yang penting setiap hari selalu penuh dengan bunga-bunga cinta, sedangkan menurut orangtuanya, “Memang kamu bisa beli makanan pakai cinta?” Jika pilih ‘Uang’, yang adalah pilihan terbaik menurut orangtuanya, semua keperluan dan keinginannya akan terpenuhi, walau mungkin rumah tangga akan sedikit hambar karena tak ada cinta yang bermekaran. Hal ini sepertinya menjadi trend dilema gadis remaja yang mulai serius mencari pendamping hidup.

Empat tahun kami berpacaran, selama itu pula aku terus meyakinkan dia bahwa aku adalah pilihan terbaiknya. Adalah empat tahun terumit tapi juga yang terindah yang pernah aku jalani selama hidupku. Istilah gaulnya, ‘Dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak’. Walau tak seperti kisah dongeng yang sehari-hari selalu bermesra-mesraan, perjalanan hubungan kami cukup berwarna. Hampir setiap hari kami bertengkar, dari masalah kecil, cemburu buta, sampai kembali ke masalah orangtuanya. Lucunya, dalam satu bulan itu rutin terdiri dari tiga fase, pertama yaitu awal bulan, adalah fase dimana aku baru gajian. Dalam kurun waktu sekitar satu minggu hingga sepuluh hari itu terisi hampir penuh dengan senda gurau, manja-manjaan, mesra-mesraan, inilah fase terindah dalam bulan tersebut. Fase kedua adalah tengah bulan. Pada fase ini, kami masih terlihat romantis di depan orang-orang, tapi ketika berduaan yang ada hanya pembahasan-pembahasan mengerikan yang jika tidak segera dihentikan bisa berujung keram pada otak atau stroke karena selalu memancing pertengkaran dan emosi. Point pembahasannya tak jauh dari hal cemburu buta, perbedaan prinsip pertemanan, ini siapa, itu siapa, dan sebagainya. Dan yang terakhir adalah fase bulan tua, atau dalam istilahku : “Fase akhir zaman”. Bagaimana aku tidak menamakannya demikian, karena pada fase terakhir ini, tak peduli di depan orang banyak ataupun lagi berdua saja, dia tak segan membentak-bentak hingga membanting-banting apa yang ada di dekatnya. Fase terakhir ini adalah evolusi fase kedua tahap lanjut. Jika teori Darwin mengatakan bahwa kera kemudian berevolusi menjadi manusia, itu adalah evolusi yang maju atau semakin sempurna.  Sedangkan pada kasusku ini, fase ketiga dalam setiap bulannya adalah juga evolusi yang maju, karena memang masalah-masalah yang muncul di fase kedua kian sempurna meledaknya pada fase ini. Dan hebatnya, ketiga fase ini rutin berlangsung selama empat tahun penuh masa-masa pacaranku dengannya.

Jika kutinjau dari rutinitas intern bulanan selama empat tahun aku pacaran ini, tak terelak bahwa masa-masa itu adalah saat dimana ia benar-benar memastikan diri bahwa aku takkan mengecewakan dia di masa depan nanti. Walau kadang terbesit pemikiran-pemikiran negatifku bahwa mungkin ia semakin dekat dengan kenyataan bahwa untuk saat ini yang ia butuhkan adalah ‘Uang’, seperti apa yang orangtuanya inginkan. Karena walau agak malu aku menceritakan, tapi dengan memiliki pacar yang hanya seorang berpenghasilan minim sepertiku, bahkan motorpun aku tak punya. Kemana-mana jalan kaki atau naik angkot, restoran termahal yang pernah kami datangi hanya tenda pecel lele pinggir jalan. Bagaimana aku bisa membahagiakan dia? Bagaimana aku membuktikan ke orangtuanya bahwa aku pantas menjadi suaminya nanti? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi retorika yang hanya berakhir dengan cenat-cenut di kepala.

Sejak awal aku berpacaran dengan dia, aku terus mencoba untuk lakukan yang terbaik yang aku bisa. Hampir segala macam pekerjaan sudah aku jalani, dan setimpal dengan gigihnya niatku mendapatkan restu dari calon mertua, atau mungkin juga karena calon mertuaku yang sudah angkat tangan karena anaknya tidak juga mau menuruti keinginannya untuk mencari suami yang ‘bermobil’,  akhirnya Yang Kuasa memberikanku hadiah yang begitu kudambakan : restu dari calon mertua.

Tak lama sejak ‘lampu hijau’ menyala, kamipun menyegerakan pernikahan kami. Dan setahun kemudian lahirlah buah pernikahan kami yang pertama. Tahun-tahun pertama pernikahan adalah masa-masa paling berat yang pernah aku rasakan. Keterbatasan penghasilan membuatku menjerumuskan anak dan istriku ke tepi jurang keprihatinan. Kerap kali aku harus menggali lubang tutup lubang hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Rumah kontrakan semi permanen menjadi tempat tinggal kami. Jatah susu anakku pun hanya mampu kupenuhi setengahnya. Jadi jika pada umumnya anak minum susu tiga botol penuh dalam satu hari, anakku juga sama seperti mereka, tiga kali minum susu, bedanya tiap kali minum susu hanya terisi setengah botolnya. Disinilah cinta dipertanyakan. Besarnya cinta seorang suami terhadap istri dan seorang ayah terhadap anaknya terukur dari seberapa sanggup aku menafkahi mereka. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku tak lagi tersenyum ketika mengingat sindiran-sindiran halus dari mertuaku dulu tentang materi. Cinta tanpa uang adalah keprihatinan. Uang tanpa cinta adalah keterpaksaan. Banyak pasangan yang pada akhirnya memilih untuk tetap bertahan hidup prihatin karena rasa cintanya yang begitu besar terhadap pasangannya. Dan tak sedikit pula pasangan yang bersikeras memaksakan untuk mempertahankan hubungan demi hidup bergelimpangan harta walau tak ada cinta dalam rumah tangga mereka.

Bukan lelaki jika aku memilih untuk lari dan menyerah pada keadaan. Hidup adalah pilihan, dan aku takkan membiarkan istriku salah karena telah memilihku sebagai pendamping hidupnya hingga mati. Aku tahu bahwa dia telah memilih ‘keprihatinan’ ketika dia memutuskan untuk menerimaku sebagai suaminya. Namun hal ini tidak membuatku pasrah begitu saja. Jika aku harus membiarkan dia salah memilih antara ‘Cinta’ dan ‘Uang’, maka akan kubuktikan bahwa pilihannya adalah kesalahan terindah yang pernah ia buat. Menyaksikan betapa tegarnya ia menjalani keprihatinan hidup denganku, akan kubuktikan bahwa ‘Cinta’ pilihannya akan melakukan segala cara untuk membahagiakannya.

Sebagai langkah awal, seiring dengan minatku pada komputer, aku mulai mengeksplorasi dunia blog. Dari blog sederhana yang hanya berisikan informasi-informasi kecil, sampai akhirnya terbesit untuk membantu temanku menjual barang-barangnya di blogku. Bulan demi bulan, tahun demi tahun, kian banyak produk-produk ‘titipan’ yang ku pasarkan di blogku. Laba yang kudapat dari penjualan barang-barang tersebut perlahan memutar balik keadaan ekonomi keluarga kecilku. Bahkan dengan kehadiran anak keduaku pun keuangan kami tak lagi kekurangan. Ditambah dengan usaha kecil-kecilan buatan tangan istriku yang juga kujual di blog, bisa dibilang kami sudah meninggalkan jurang ‘keprihatinan’ dan perlahan mulai mencoba untuk mengejar impian-impian kami berdua.

Mencoba membuat terobosan dengan berhenti menjadi Sales Promotion Boy, aku kian menekuni ‘bisnis online’ ku, penghasilanku memang jauh lebih besar dibanding ketika aku masih bekerja di perusahaan orang, namun hasil yang kudapatkan adalah harian, bukan bulanan seperti gaji yang biasa aku terima dulu sebagai karyawan, itu sebabnya aku harus sangat berhati-hati dalam pengeluaran agar tidak kembali terjerumus di lubang keprihatinan lagi. Dan untuk mengejar target pribadiku mengabulkan impian istriku yaitu memiliki rumah dan mobil pribadi, akupun harus cermat mengatur keuangan. Untuk membeli rumah dan mobil aku belum sanggup untuk membayar secara tunai, untungnya banyak portal layanan informasi dan perbandingan yang netral dan terpercaya untuk membantuku membuat keputusan finansial yang cerdas seperti CekAja.com. Di CekAja.com, aku bisa mendapatkan produk kredit dan pinjaman berbunga murah, kartu kredit dengan diskon dan promo terbaik, serta produk syariah dan asuransi yang sesuai kebutuhan. Dari sinilah aku kemudian mengajukan kredit untuk pencapaian impian kami berdua, rumah dan mobil.

Tak terkira bahagianya istriku ketika menginjak rumah barunya, dan duduk di mobil barunya. Begitu jelas terlihat di matanya bulir-bulir penuh sukacita. Suami yang tadinya tak punya ‘Uang’ dan hanya bermodal ‘Cinta’, kini telah memenuhi sebagian impiannya. Sedikit pembuktian bahwa apa yang selama ini kuperjuangkan tak berbuah sia-sia, tertepis sudah praduga sang mertua tentang apa yang mereka arahkan kepada istriku dulu. ‘Cinta’ yang dipilih oleh istriku kini mampu menghadirkan lebih banyak kebahagiaan. Kini kami hidup serba kecukupan. Besarnya cinta yang kutanam di dalam hatiku untuk istri dan anak-anakku menghasilkan kekuatan untuk mendatangkan tak hanya banyak ‘Uang’ seperti yang selalu menjadi incaran calon mertua, tapi juga tangga untuk meraih impian-impian mereka, dan kebahagiaan.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com


Detail
 
ionlinerz corp © 2010-2021 | All Rights Reserved